GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI
Gender kaitannya
dengan feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut
Humm feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi
gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah
ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi
perempuan. Selanjutnya Humm menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi
pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan
karena jenis kelamin nya. Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab,
pelaku dari penindasan perempuan.[1]
Feminisme berasal dari bahasa
Latin, femina atau yang berarti perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada
tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta
pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminis dapat diaartikan sebagai
sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan
hak dengan pria, yang dilatarbelakangi kesadaran adanya penindasan terhadap
perempuan, tokohnya disebut dengan
“Feminis”. Menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan
gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat,
sertatindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan
tersebut. Feminism sendiri erat kaitanya dengan gender. Gender merupakan
perbedaan anatara laki-laki dan perempuan yang dibangun secara social dan
kultural yang berkaitan dengan peran, perilaku dan sifat yang dianggap layak
bagi laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan.[2]
Feminisme berkembang pesat di
Amerika Serikat pada tahun 1963 dalam buku yang berjudul The Feminine Mystique
karya Betty Friedman. Selain itu, ia mendirikan National Organization for Women
(NOW) pada tahun 1966 yang merambat ke segala kehidupan. Berkat NOW, tulisan
Friedman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum
perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama
dengan lakilaki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) di mana
kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
Teori feminisme
modern muncul sejak buku Le Deuxième Sexe karya Simone de Beauvoir diterbitkan.
Buku tersebut bercerita tentang keadaan (ketertindasan) perempuan dan telah
memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan mendorong inspirasi
gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Ada beberapa paham yang benar dan salah
menafsirkan tentang feminisme. Luce Irigaray menyatakan bahwa feminisme adalah
suatu hal untuk pemberdayaan wanita.[3]
A. Sejarah Feminisme
1.
Gelombang Pertama
Feminisme sebagai
filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran
era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan
Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama
kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785.
Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal
sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali
oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan
center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John
Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai
kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan
pada masa itu, Dimana
ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia
menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam
semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam
masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan,
pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih
inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat
tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di
depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi
Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke
seluruh dunia.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang
gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras,
baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian
terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman
yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum perempuan
mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka
diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang
selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal
berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality,
hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas
gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan
dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan
phalogosentrisme.
2.
Gelombang Kedua
Setelah berakhirnya perang dunia kedua,
ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa,
lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan
awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah
politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis
Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian
menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap
di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the
Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi
oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia
menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia
Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat
dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
Secara lebih
spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua,
mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi
Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah
terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi
sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat
yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty
membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai
obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar
kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir
kehadiran blackfemale dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam
konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah
sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam
perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya
representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran
pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang
mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia
ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama
sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang
tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja.
Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis
dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki.
Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi
perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan
gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu
menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua
perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek
analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi
sosial.[4]
B. Feminisme dalam Perspektif Islam
Ide-ide feminisme tampaknya cukup
menarik minat Muslim dan Muslimah yang progresif dan mempunyai semangat dan
idealism yang tinggi untuk mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik.
Ketidaksesuaian feminisme dengan islam antara lain terkait dengan ide persamaan
kedudukan dan hak antara perempuan dengan laki-laki, Ide penindasan terhadap
perempuan dalam institusi keluarga, metode yang ditempuh untuk menghilangkan
penindasan terhadap perempuan, maupun ide-ide feminisme Muslim liberal.
Rasulullah dan para sahabatnya
adalah contoh bagi umat Islam dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip
kesetaraan manusia
yang ada pada masa Rasulullah dan masa-masa berikutnya sampai saat ini. Oleh
sebab itu, masalah gender terdapat pada budaya dan kehidupan sosial dimana
Islam berkembang. Di samping ajaran ketauhidan dan peribadatan, Islam merupakan
ajaran yang dapat menjadi landasan nilai budaya dan norma sosial dalam
menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Inilah yang menjadi inti Islam,
yaitu menjadi rahmah bagi seluruh alam (rahmatan
lil-’âlamîn) agar manusia bisa hidup antar sesama dengan penuh kecintaan,
kedamaian serta kesejahteraan, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Anbiyâ’ (21):
107:“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam”.[5]
Sebenarnya kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revoulusi gender.
Islam hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas
perempuan, merubah status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagai second
creation (makhluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam
mengangkat derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya
laki-laki. Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga
negara, dan berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer.
Islam mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl
pengemban amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan
emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh
risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Pada aspek gender, Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa
perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah. Relasi antara laki-laki dan
perempuan yang dianjurkan oleh Islam adalah dalam posisi setara, tidak ada superioritas
dan subordinasi (diunggulkan dan direndahkan), masing-masing memiliki
potensi, fungsi, peran dan kesempatan
pengembangan diri. Perbedaan fitrah laki-laki dan
perempuan, menampakkan adanya kekhususan yang dimiliki laki-laki dan perempuan
agar keduanya saling melengkapi dalam melaksanakan fungsi dan perannya, baik di
ranah domestik (rumah tangga) maupun publik (masyarakat).[6]
Dalam konteks keluarga, Islam
memandang perempuan sebagai pasangan, partner, dan sahabat laki-laki dalam
menjalankan tugas mengabdi kepada Allah SWT dan menjadi khalifah di bumi
melalui pembagian pekerjaan di antara keduanya. Selain itu Islam tidak
memandang peran seseorang sebagai penentu kualitas kehidupan seseorang. Tolok
ukur kemuliaan dalah ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik
apa-bukan sebanyak apa-seseorang bertakwa kepada Allah SWT (Q.S. al-Hujurat:13
dan al-Mulk:2).[7]
C. Gerakan Feminisme di Indonesia
Pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno memberikan
kesempatan kepada gerakan feminisme di Indonesia dengan pengajaran tentang
keperempuanan dan perjuangan kepada kaum perempuan. Bahkan, pada masa ini,
terdapat Gerwani, organisasi perempuan yang cukup progresif dalam mengadvokasi
isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Gerwani juga turut serta dalam bidang
politik demi menjembatani antara politik dan kebutuhan sosial perempuan. Namun,
selama masa Orde Baru, gerakan perempuan sengaja disingkirkan. Pada masa ini,
perempuan diberi citra hanya sebagai kaum ibu dan istri semata yang berada di
samping bahkan di belakang kaum laki-laki. Hal ini menghancurkan gerakan
perempuan yang telah ada di masa sebelumnya dan menghalangi tumbuhnya feminisme
di masa orde baru.
Barulah pada era reformasi, usaha memunculkan
gerakan feminisme makin kuat. Feminisme bukan lagi sekadar wacana namun sebagai
hal telah termanisfestasikan dalam berbagai langkah instrumental pada struktur
pemerintahan. Meskipun belum dapat menghilangkan stigmatisasi perempuan sebagai
orang kedua. Di Indonesia, gerakan feminisme ini sudah terdengar sejak tahun
60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Dan
gerakan ini dapat dibagi dalam tiga tahapan.
1. Periode Pertama (1975-1985).
Pada masa, ini hampir semua LSM tidak menganggap masalah
gender sebagai masalah penting. Justru banyak yang melakukan pelecehan. Mereka
tidak menggunakan analisa gender sehingga reaksi terhadap masalah tersebut
sering menimbulkan konflik antar aktivis perempuan dan lainnya. Bentuk
perlawanan yang muncul terhadap gerakan feminisme adalah dengan mengemukakan
alasan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.
2. Periode Kedua (1985-1995)
Pada periode ini, dimulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang
dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan.
Pada tahap kedua ini, kegiatan pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan
terhadap isu gender meningkat. Pelatihan ini membantu menjelaskan pengertian
dan isu gender sebenarnya. Berbagai LSM mulai menggunakan analisis gender dalam
mengembangkan program-programnya. Dan yang terakhir 1995 hingga saat ini. Untuk
mempertahankan apa yang telah dibangun pada dua tahapan sebelumnya, maka pada
tahapan ini diterapkan dua strategi, yakni mengintegrasikan
gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga
pendidikan dan strategi advokasi.
Untuk strategi pertama, diperlukan suatu
tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan manajemen dan
keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setiap organisasi.
Sementara untuk strategi yang kedua, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak
akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat.
Gerakan feminisme di Indonesia merupakan gerakan transformasi
perempuan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara
fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil. Gerakan feminisme bukanlah
gerakan yang untuk menyerang laki-laki tetapi merupakan gerakan perlawanan
terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki. Hematnya, gerakan
perempuan merupakan gerakan tranformasi sosial yang bersifat luas, yang
merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan,
penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku di masyarakat.[8]
D. Tokoh-Tokoh Femisnime di Indonesia
1.
Gadis Arivia
Perempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada
1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari
Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan
Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang
merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai
persoalan perempuan. Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang
membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan
pokok yang perlu diatasi. Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah
terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah
Konflik’ pada 2002.
2.
Aquarini
Priyatna Prabasmoro
Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme merupakan gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.
Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme merupakan gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.
3.
Toety
Heraty
Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
4.
Ayu
Utami
Pasca kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.
Pasca kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.
5.
Ratna
Sarumpaet
Siapa yang tidak kenal Ratna Sarumpaet, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp 500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.
Siapa yang tidak kenal Ratna Sarumpaet, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp 500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.
E. Kelembagaan Korps PMII Putri (KOPRI)
PMII
menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini
kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan
potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi
PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan
PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).[9]
1. Landasan Normatif
Dalam
Bab IX Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 25
dinyatakan ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota
perempuan dari 1/3 keseluruhan anggota pengurus.; dan ayat (2) Setiap kegiatan
PMII harus dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan perempuan
1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan
soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga
khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana ada dalam Anggaran Dasar
(AD) Bab IX Pasal 11 ayat (1) Pengembangan PMII Puteri diwujudkan dengan
pembentukan wadah perempuan yaitu Korps PMII Puteri yang selanjutnya disingkat
KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader puteri
PMII melalui kelompok kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI
didirikan pada tanggal 25 november 1967; ayat (4) KOPRI berstatus badan semi
otonom pada setiap level kepengurusan PMII; ayat (5) Kopri wajib mengikuti
Kaderisasi Formal yang ada di PMII, selain kaderisasi formal yang ada di KOPRI;
ayat (6) Kopri wajib mengikuti forum permusyawaratan yang ada di PMII; ayat (7)
Pengaturan lebih lanjut tentang KOPRI diatur dalam Panduan Penyelenggaraan dan
Pelaksanaan KOPRI.
2. Profil Singkat KOPRI
Nama : Korps Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia Putri disingkat KOPRI.
Pendirian : KOPRI didirikan
25 November 1967
Azas : KOPRI berazazkan Pancasila
Ø Visi :
“TERCIPTANYA
SINERGRITAS KOPRI DALAM MENGAWAL DAN MEMPERKUAT KEPEMIMPINAN PEREMPUAN NUSANTARA”
Ø Misi :
a.
Menjadikan kopri sebagai kawah candra dimuka (tempat pengkaderan)
pemimpin perempuan nusantara.
b.
Mentransformasikan pemahaman gender di tingkatan mahasiswa dan
masyarakat.
c.
Memperkuat simpul gerakan kader perempuan di nusantara.
d.
Memperkuat kaderisasi perempuan melalui peningkatan capacity bulding
kader.
e.
.Mengembangkan dan memperkuat institutional kopri di
semua level kepengurusan
f.
Memperluas networking tingkat regional nasional maupun internasional.
3.
Perjalanan Sejarah Singkat
KOPRI
Perjalanan
sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami
proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada
tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen
Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan
Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976.
Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV
PMII 1970.
KOPRI
dari masa ke masa mengalami ketidakharmonisan karena minimnya koodinasi. Hanya
pada saat Ali Masykur Musa (1991-1994) yang memiliki keharmonisan
dengan Ketua KOPRI-nya dari Lampung (Jauharoh Haddad). KOPRI pada
awalnya diposisikan menjadi badan otonom dari PMII namun sekarang menjadi semi
otonom yang mana pimpinan KOPRI dipilih atau ditunjuk oleh Ketua Umum PB PMII.
Konsekuensinya KOPRI harus berada di cabang-cabang di setiap daerah.
KOPRI
mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting
beda suara pada Kongres KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000.
Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca
konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh
sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah
kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21
April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah.
Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di
Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader
perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi
perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak
menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara
langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres
PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang
menegangkan dan melelahkan hingga subuh, memutuskan status KOPRI Semi Otonom.[10]
Untuk mempermudah mempelajari sejarah gerakan KOPRI,
dapat dilihat pada kolom dibawah ini :
No.
|
Periodesasi
|
Bentuk Gerakan
|
Gagasan
|
1.
|
1960-1966
|
Divisi Keperempuanan
|
Gerakan
perempuan PMII lebih fokus memusatkan perhatian menangani masalah-masalah
perempuan dan sebatas menjahit, memasak, megenai masalah dapur.
|
2.
|
16 Februari 1966
|
Training Kursus Keputrian
|
Panca
Norma KOPRI dan menelurkan gagasan pembentukan badan semi Otonom PMII (KOPRI)
|
3.
|
25 November 1967
|
Dibentuk KOPRI
|
Mengorganisir
kekuatan kader perempuan PMII serta menjadi ruang gerak dalam mengeluarkan
pendapat dan beraktifitas sebatas emansiasi perempuan dalam bidang sosial
masyarakat.
|
4.
|
1988
|
Dibentuk
sistem kaderisasi sistematis terdiri dari kurikulum dan Pelaksanaan LKK
(Latihan Kader KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader KOPRI)
|
|
5.
|
28 Oktober 1991
|
Lahir NKK
(Nilai Kader KOPRI) pada konfres XIII tahun 2000 di Medan
|
|
6.
|
2000
|
KOPRI dibubarkan
|
Pembubaran
KOPRI pada Kongres XIII tahun 2000 di Medan
|
7.
|
2003
|
Amanat pembentukan POKJA perempuan
|
Kongres
XIV di Kutai Kertangara Kalimantan Timur mengamantakan membuat pertemuan
POKJA perempuan
|
8.
|
26-29
September 2003
|
Pertemuan POKJA Perempuan
|
Gagasan
dilahirkan keorganisasian wadah perempuan
|
9.
|
29
September 2003
|
KOPRI
|
Dibentuk
kembali keorganisasian wadah perempuan yang bernama KOPRI
|
10.
|
2003-2014
|
KOPRI
|
KOPRI
daerah masing-masing membuat sistem kaderisasi KOPRI.
|
11.
|
2014
|
Kongres XVII di Jambi
|
Lahirnya
IPO (Ideologi Politik Organisasi) KOPRI
|
12.
|
2014-2016
|
KOPRI
|
KOPRI PB
PMII mensistematiskan modul tunggal
kaderisasi nasional KOPRI
|
4. Sejarah Gerakan Perempuan di
Salatiga
Gerakan perempuan di Salatiga sudah lahir sejak
tahun 2008, dimana memang KOPRI belum terbentuk di cabang Salatiga. Pada saat
ini masih bernamakan divisi keperempuanan yang ada di bawah naungan Komisariat,
gerakan divisi keperempuanan PMII lebih fokus memusatkan perhatian mengenai
masalah-masalah domestik perempuan dan sebatas menjahit, memasak dan mengenai
masalah dapur. Namun, kesadaran yang dimiliki oleh beberapa sahabat-sahabat
yang ada didalam divisi keperempuanan itu untuk berkeinginan dan mempunyai
kebulatan tekad yang teguh bahwa, perempuan cukup mampu dalam menentukan
kebijakan sendiri maka dalam divisi keperempuanan yang diketuai oleh sahabati
Nur Asmaiyah dan keenam sahabatnya melakukan gerakan reaktualisasi dengan
menamai gerakan perempuan tersebut dengan nama GGB (Gender Gue Banget), karena
di cabang Salatiga pada saat itu masih belum adanya KOPRI. Pada saat itu
gerakan perempuan sangat massif-progresif.
Tokoh Gender Gue Banget
:
1.
Nur Asmaiyah (Ketua)
2.
Zair Naila Karimah (Sekertaris)
3.
Nurul Faizah (Bendahara)
4.
Khoirina Hapsari
5.
Tasliytul Muhimmah
6.
Indah Pujiyanti
7.
Nining Hasanah
KOPRI di Salatiga berdiri pada tahun 2013, karena
sejak dari tahun 2008 hingga tahun 2013 gerakan perempuan yang telah terbentuk
sebagai GGB tersebut kembali lagi hanya sebatas divisi keperempuanan yang
bergerak dan memfokuskan pada masalah domestik keperempuaan. Namun pada tahun
2013 didalam kepemimpinan sahabati Winda Nur Syifa gerakan perempuan KOPRI di
Salatiga mulai dibangun, karena banyaknya kesadaran para kader-kader perempuan
yang dirasa perlu adanya wadah sendiri bagi perempuan untuk memiliki ruang
dalam beraktifitas, dan banyaknya kader perempuan yang tidak mampu bersaing di
dunia PMII dan juga karena melihat pada sedikitnya kader perempuan yang mampu
bertahan dalam jenjang kepengurusan cabang. Sebagian dari mereka hanya sempat
mengikuti MAPABA dan mengikuti seleksi alam, saat itu kader-kader yang
mempunyai kesadaran tersebut ingin membangun kepengurusan dalam wadah yang
bernama KOPRI yang sudah disepakati oleh kepengurusan pusat ( Pengurus Besar )
dan membuat pembaharuan untuk mempertahankan KOPRI.
Periodesasi Kelembagaan KOPRI Kota
Salatiga 2013-2018
1.
Periode 2013-2014
Ketua
KOPRI : Winda Nur Syifa
Sekretaris : Aulia
2.
Periode 2014-2015
Ketua
KOPRI : Endarti
Sekretaris :
Nur Winarsih
3.
Periode 2015-2016
Ketua
KOPRI : Ridha Ayu Wintari
Sekretaris : Fina Indaturrohmah
4.
Periode 2016-2017
Ketua
KOPRI : Khadijat Us Sunna
Sekretaris : Lilik Septiani Nafiah
Nabila Azka Amalia
5.
Periode 2017-2018
Ketua
KOPRI : Rohmatul Ummah
Sekretaris : Ulfah Mahmudah
Ummu Atika
Rahmi
[1] DPA. Wiyatmi, M.Hum. Kritik
karya feminis: teori dan aplikasinya dalam sastra Indonesia. (Yogyakarta:
Ombak, 2012), hal, 12.
[2] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi
Geender,Islam dan Budaya, hal, 5.
[3] Feminism-feminisme hal, 14.
[5] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi
Geender,Islam dan Budaya, hal, 38.
[6] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi
Geender,Islam dan Budaya, hal, 39.
[7] Siti Masitoh, dkk. Makala : “Teori Sosial Kritis Feminisme”
(Jakarta : Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2019), hal 13.
[8] Hesty Aulia Rahmi, “Feminisme di Indonesia: Sekilas Sejarah dan Dinamika” diakses dari https://nalarpolitik.com/feminisme-di-indonesia-sekilas-sejarah-dan-dinamika/ , pada tanggal 29 Agustus 2019 pada pukul 05:55.
[9] Modul MAPABA Rayon Dakwah,
hal 25.
[10] Modul MAPABA Rayon Dakwah, hal 25-26
Komentar
Posting Komentar