GENDER DAN KELEMBAGAAN KOPRI



Gender kaitannya dengan feminisme memiliki sejumlah pengertian. Menurut Humm feminisme menggabungkan doktrin persamaan hak bagi perempuan yang menjadi gerakan yang terorganisasi untuk mencapai hak asasi perempuan, dengan sebuah ideologi transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan. Selanjutnya Humm menyatakan bahwa feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan dengan keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan karena jenis kelamin nya. Feminisme menawarkan berbagai analisis mengenai penyebab, pelaku dari penindasan perempuan.[1]
Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau yang berarti perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan. Feminis dapat diaartikan sebagai sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria, yang dilatarbelakangi kesadaran adanya penindasan terhadap perempuan,  tokohnya disebut dengan “Feminis”. Menurut Yubahar Ilyas, feminisme adalah kesadaran akan ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan, baik dalam keluarga maupun masyarakat, sertatindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut. Feminism sendiri erat kaitanya dengan gender. Gender merupakan perbedaan anatara laki-laki dan perempuan yang dibangun secara social dan kultural yang berkaitan dengan peran, perilaku dan sifat yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan yang dapat dipertukarkan.[2]
Feminisme berkembang pesat di Amerika Serikat pada tahun 1963 dalam buku yang berjudul The Feminine Mystique karya Betty Friedman. Selain itu, ia mendirikan National Organization for Women (NOW) pada tahun 1966 yang merambat ke segala kehidupan. Berkat NOW, tulisan Friedman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan lakilaki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) di mana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.
   Teori feminisme modern muncul sejak buku Le Deuxième Sexe karya Simone de Beauvoir diterbitkan. Buku tersebut bercerita tentang keadaan (ketertindasan) perempuan dan telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan dan mendorong inspirasi gerakan-gerakan pembebasan perempuan. Ada beberapa paham yang benar dan salah menafsirkan tentang feminisme. Luce Irigaray menyatakan bahwa feminisme adalah suatu hal untuk pemberdayaan wanita.[3]
A.     Sejarah Feminisme
1.      Gelombang Pertama
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, Dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.
2.      Gelombang Kedua
       Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan. Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Sebagai bukan white-Anglo-American-Feminist, dia menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.
 Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga. Meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Dalam berbagai penelitian tersebut, telah terjadi pretensi universalisme perempuan sebelum memasuki konteks relasi sosial, agama, ras dan budaya. Spivak membongkar tiga teks karya sastra Barat yang identik dengan tidak adanya kesadaran sejarah kolonialisme. Mohanty membongkar beberapa peneliti feminis barat yang menjebak perempuan sebagai obyek. Dan Bell Hooks mengkritik teori feminisme Amerika sebagai sekedar kebangkitan anglo-white-american-feminism karena tidak mampu mengakomodir kehadiran blackfemale dalam kelahirannya.
Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Dengan apropriasi bahwa semua perempuan adalah sama. Dalam beberapa karya sastra novelis perempuan kulit putih yang ikut dalam perjuangan feminisme masih terdapat lubang hitam, yaitu: tidak adanya representasi perempuan budak dari tanah jajahan sebagai Subyek. Penggambaran pejuang feminisme adalah yang masih mempertahankan posisi budak sebagai yang mengasuh bayi dan budak pembantu di rumah-rumah kulit putih. Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai Subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah perang dunia kedua. Selama sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua Negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu. Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.[4]


B.     Feminisme dalam Perspektif Islam
Ide-ide feminisme tampaknya cukup menarik minat Muslim dan Muslimah yang progresif dan mempunyai semangat dan idealism yang tinggi untuk mengubah kenyataan yang ada menjadi lebih baik. Ketidaksesuaian feminisme dengan islam antara lain terkait dengan ide persamaan kedudukan dan hak antara perempuan dengan laki-laki, Ide penindasan terhadap perempuan dalam institusi keluarga, metode yang ditempuh untuk menghilangkan penindasan terhadap perempuan, maupun ide-ide feminisme Muslim liberal.
Rasulullah dan para sahabatnya adalah contoh bagi umat Islam dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip kesetaraan manusia yang ada pada masa Rasulullah dan masa-masa berikutnya sampai saat ini. Oleh sebab itu, masalah gender terdapat pada budaya dan kehidupan sosial dimana Islam berkembang. Di samping ajaran ketauhidan dan peribadatan, Islam merupakan ajaran yang dapat menjadi landasan nilai budaya dan norma sosial dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan. Inilah yang menjadi inti Islam, yaitu menjadi rahmah bagi seluruh alam (rahmatan lil-’âlamîn) agar manusia bisa hidup antar sesama dengan penuh kecintaan, kedamaian serta kesejahteraan, sebagaimana termaktub dalam QS. al-Anbiyâ’ (21): 107:“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmah bagi semesta alam”.[5]
Sebenarnya kedatangan Islam pada abad ke-7 M membawa revoulusi gender. Islam hadir sebagai ideologi pembaharuan terhadap budaya-budaya yang menindas perempuan, merubah status perempuan secara drastis. Tidak lagi sebagai second creation (makhluk kedua setelah laki-laki) atau penyebab dosa. Justru Islam mengangkat derajat perempuan sebagai sesama hamba Allah seperti halnya laki-laki. Perempuan dalam Islam diakui hak-haknya sebagai manusia dan warga negara, dan berperan aktif dalam berbagai sektor termasuk politik dan militer. Islam mengembalikan fungsi perempuan yang juga sebagai khalifah fil ardl pengemban amanah untuk mengelola alam semesta. Jadi dengan kata lain, gerakan emansipasi perempuan dalam sejarah peradaban manusia sudah dipelopori oleh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Pada aspek gender, Islam mengajarkan kepada pemeluknya bahwa perempuan dan laki-laki setara di hadapan Allah. Relasi antara laki-laki dan perempuan yang dianjurkan oleh Islam adalah dalam posisi setara, tidak ada superioritas dan subordinasi (diunggulkan dan direndahkan), masing-masing memiliki potensi, fungsi, peran dan kesempatan pengembangan diri. Perbedaan fitrah laki-laki dan perempuan, menampakkan adanya kekhususan yang dimiliki laki-laki dan perempuan agar keduanya saling melengkapi dalam melaksanakan fungsi dan perannya, baik di ranah domestik (rumah tangga) maupun publik (masyarakat).[6]
Dalam konteks keluarga, Islam memandang perempuan sebagai pasangan, partner, dan sahabat laki-laki dalam menjalankan tugas mengabdi kepada Allah SWT dan menjadi khalifah di bumi melalui pembagian pekerjaan di antara keduanya. Selain itu Islam tidak memandang peran seseorang sebagai penentu kualitas kehidupan seseorang. Tolok ukur kemuliaan dalah ketakwaan yang diukur secara kualitatif, yaitu sebaik apa-bukan sebanyak apa-seseorang bertakwa kepada Allah SWT (Q.S. al-Hujurat:13 dan al-Mulk:2).[7]
C.     Gerakan Feminisme di Indonesia
Pada masa Orde Lama, Presiden Sukarno memberikan kesempatan kepada gerakan feminisme di Indonesia dengan pengajaran tentang keperempuanan dan perjuangan kepada kaum perempuan. Bahkan, pada masa ini, terdapat Gerwani, organisasi perempuan yang cukup progresif dalam mengadvokasi isu-isu yang berkaitan dengan perempuan. Gerwani juga turut serta dalam bidang politik demi menjembatani antara politik dan kebutuhan sosial perempuan. Namun, selama masa Orde Baru, gerakan perempuan sengaja disingkirkan. Pada masa ini, perempuan diberi citra hanya sebagai kaum ibu dan istri semata yang berada di samping bahkan di belakang kaum laki-laki. Hal ini menghancurkan gerakan perempuan yang telah ada di masa sebelumnya dan menghalangi tumbuhnya feminisme di masa orde baru.
Barulah pada era reformasi, usaha memunculkan gerakan feminisme makin kuat. Feminisme bukan lagi sekadar wacana namun sebagai hal telah termanisfestasikan dalam berbagai langkah instrumental pada struktur pemerintahan. Meskipun belum dapat menghilangkan stigmatisasi perempuan sebagai orang kedua. Di Indonesia, gerakan feminisme ini sudah terdengar sejak tahun 60-an, namun menjadi isu dalam pembangunan baru sekitar tahun 1970-an. Dan gerakan ini dapat dibagi dalam tiga tahapan.
1.      Periode Pertama (1975-1985).
Pada masa, ini hampir semua LSM tidak menganggap masalah gender sebagai masalah penting. Justru banyak yang melakukan pelecehan. Mereka tidak menggunakan analisa gender sehingga reaksi terhadap masalah tersebut sering menimbulkan konflik antar aktivis perempuan dan lainnya. Bentuk perlawanan yang muncul terhadap gerakan feminisme adalah dengan mengemukakan alasan demi kelancaran proyek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.
2.      Periode Kedua (1985-1995)
Pada periode ini, dimulailah tahapan pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud dengan analisis gender dan mengapa gender menjadi masalah pembangunan. Pada tahap kedua ini, kegiatan pelatihan yang bertujuan membangkitkan kepekaan terhadap isu gender meningkat. Pelatihan ini membantu menjelaskan pengertian dan isu gender sebenarnya. Berbagai LSM mulai menggunakan analisis gender dalam mengembangkan program-programnya. Dan yang terakhir 1995 hingga saat ini. Untuk mempertahankan apa yang telah dibangun pada dua tahapan sebelumnya, maka pada tahapan ini diterapkan dua strategi, yakni mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan strategi advokasi.
Untuk strategi pertama, diperlukan suatu tindakan yang diarahkan menuju terciptanya kebijakan manajemen dan keorganisasian yang memiliki perspektif gender bagi setiap organisasi. Sementara untuk strategi yang kedua, diperlukan suatu pengkajian terhadap letak akar persoalan ketidakadilan gender di negara dan masyarakat.
Gerakan feminisme di Indonesia merupakan gerakan transformasi perempuan untuk menciptakan hubungan antar sesama manusia yang secara fundamental baru, lebih baik, dan lebih adil. Gerakan feminisme bukanlah gerakan yang untuk menyerang laki-laki tetapi merupakan gerakan perlawanan terhadap sistem yang tidak adil dari sistem patriarki. Hematnya, gerakan perempuan merupakan gerakan tranformasi sosial yang bersifat luas, yang merupakan proses penghapusan atau penyingkiran segala bentuk ketidakadilan, penindasan, dominasi, dan diskriminasi dalam sistem yang berlaku di masyarakat.[8]
D.    Tokoh-Tokoh Femisnime di Indonesia
1.      Gadis Arivia         
          Perempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada 1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai persoalan perempuan. Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan pokok yang perlu diatasi. Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah Konflik’ pada 2002.
2.      Aquarini Priyatna Prabasmoro
         Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme merupakan gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.
3.      Toety Heraty
         Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
4.      Ayu Utami
        Pasca kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.
5.      Ratna Sarumpaet
        Siapa yang tidak kenal Ratna Sarumpaet, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp 500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.
E.     Kelembagaan Korps PMII Putri (KOPRI)
PMII menyadari bahwa anggotanya perlu diberdayakan semaksimal mungkin. Selama ini kader putri PMII dirasa belum banyak yang diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensinya, padahal jumlah anggota putri PMII terbilang banyak. Untuk itu, konstitusi PMII mensyaratkan keberadaan kader putri dalam setiap tingkatan kepengurusan PMII diberi kuota minimal 1/3 (dari PB sampai Rayon).[9]
1.      Landasan Normatif
Dalam Bab IX Anggaran Rumah Tangga (ART) PMII tentang Kuota Kepengurusan, Pasal 25 dinyatakan ayat (1) Kepengurusan di setiap tingkat harus menempatkan anggota perempuan dari 1/3 keseluruhan anggota pengurus.; dan ayat (2) Setiap kegiatan PMII harus dilaksanakan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan perempuan 1/3 dari keseluruhan anggota.
Penjelasan soal pemberdayaan anggota perempuan PMII ditegaskan dengan pembentukan lembaga khusus bernama Korp PMII Putri (KOPRI) sebagaimana ada dalam Anggaran Dasar (AD) Bab IX Pasal 11 ayat (1) Pengembangan PMII Puteri diwujudkan dengan pembentukan wadah perempuan yaitu Korps PMII Puteri yang selanjutnya disingkat KOPRI; ayat (2) KOPRI adalah wadah perempuan yang didirikan oleh kader puteri PMII melalui kelompok kerja sebagai keputusan Kongres PMII XIV; ayat (3) KOPRI didirikan pada tanggal 25 november 1967; ayat (4) KOPRI berstatus badan semi otonom pada setiap level kepengurusan PMII; ayat (5) Kopri wajib mengikuti Kaderisasi Formal yang ada di PMII, selain kaderisasi formal yang ada di KOPRI; ayat (6) Kopri wajib mengikuti forum permusyawaratan yang ada di PMII; ayat (7) Pengaturan lebih lanjut tentang KOPRI diatur dalam Panduan Penyelenggaraan dan Pelaksanaan KOPRI.
2.      Profil Singkat KOPRI
Nama               : Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri disingkat KOPRI.
Pendirian          : KOPRI didirikan 25 November 1967
Azas                 : KOPRI berazazkan Pancasila
Ø  Visi :
“TERCIPTANYA SINERGRITAS KOPRI DALAM MENGAWAL DAN MEMPERKUAT KEPEMIMPINAN PEREMPUAN NUSANTARA”
Ø  Misi :
a.       Menjadikan kopri sebagai kawah candra dimuka (tempat pengkaderan) pemimpin perempuan nusantara.
b.      Mentransformasikan pemahaman gender di tingkatan mahasiswa dan masyarakat.
c.       Memperkuat simpul gerakan kader perempuan di nusantara.
d.      Memperkuat kaderisasi perempuan melalui peningkatan capacity bulding kader.
e.       .Mengembangkan dan memperkuat institutional kopri di semua level kepengurusan
f.        Memperluas networking tingkat regional nasional maupun internasional.
3.      Perjalanan Sejarah Singkat KOPRI
Perjalanan sejarah organisasi yang bernama Korps PMII Putri yang disingkat KOPRI mengalami proses yang panjang dan dinamis. KOPRI berdiri pada kongres III PMII pada tanggal 7-11 Februari 1967 di Malang Jawa Timur dalam bentuk Departemen Keputrian dengan berkedudukan di Surabaya Jawa Timur dan lahir bersamaan Mukernas II PMII di Semarang Jawa Tengah pada tanggal 25 September 1976. Musyawarah Nasional pertama Korp PMII Putri diselenggarakan pada kongres IV PMII 1970.
KOPRI dari masa ke masa mengalami ketidakharmonisan karena minimnya koodinasi. Hanya pada saat Ali Masykur Musa (1991-1994) yang memiliki keharmonisan dengan  Ketua KOPRI-nya dari Lampung (Jauharoh Haddad). KOPRI pada awalnya diposisikan menjadi badan otonom dari PMII namun sekarang menjadi semi otonom yang mana pimpinan KOPRI dipilih atau ditunjuk oleh Ketua Umum PB PMII. Konsekuensinya KOPRI harus berada di cabang-cabang di setiap daerah.
KOPRI mengalami keputusan yang pahit ketika status KOPRI dibubarkan melalui voting beda suara pada Kongres KOPRI VII atau PMII XIII di Medan pada tahun 2000. Merasa pengalaman pahit itu terasa, bahwa kader-kader perempuan PMII pasca konres di Medan mengalami stagnasi yang berkepanjangan dan tidak menentu, oleh sebab itu kader-kader perempuan PMII mengganggap perlu dibentuknya wadah kembali, kongres XIII di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur pada tanggal 16-21 April 2003 sebagai momentum yang tepat untuk memprakarsai adanya wadah.
Maka, terbentuklah POKJA perempuan dan kemudian lahirlah kembali KOPRI di Jakarta pada tanggal 29 September 2003 karena semakin tajam semangat kader perempuan PMII maka pada kongres di Bogor tanggal 26-31 Mei tahun 2005 terjadi perbedaan kebutuhan maka terjadi voting atas status KOPRI denga suara terbanyak menyatakan KOPRI adalah Otonom sekaligus memilih ketua umum PB KOPRI secara langsung sehingga terpilih dalam kongres sahabati Ai’ maryati Shalihah. Dalam Kongres PMII ke-16 di Batam, Maret 2008, setelah melalui sidang dan voting yang menegangkan dan melelahkan hingga subuh, memutuskan status KOPRI Semi Otonom.[10]
Untuk mempermudah mempelajari sejarah gerakan KOPRI, dapat dilihat pada kolom dibawah ini :
No.
Periodesasi
Bentuk Gerakan
Gagasan
1.
1960-1966
Divisi Keperempuanan
Gerakan perempuan PMII lebih fokus memusatkan perhatian menangani masalah-masalah perempuan dan sebatas menjahit, memasak, megenai masalah dapur.
2.
16 Februari 1966
Training Kursus Keputrian
Panca Norma KOPRI dan menelurkan gagasan pembentukan badan semi Otonom PMII (KOPRI)
3.
25 November 1967
Dibentuk KOPRI
Mengorganisir kekuatan kader perempuan PMII serta menjadi ruang gerak dalam mengeluarkan pendapat dan beraktifitas sebatas emansiasi perempuan dalam bidang sosial masyarakat.
4.
1988

Dibentuk sistem kaderisasi sistematis terdiri dari kurikulum dan Pelaksanaan LKK (Latihan Kader KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader KOPRI)
5.
28 Oktober 1991

Lahir NKK (Nilai Kader KOPRI) pada konfres XIII tahun 2000 di Medan
6.
2000
KOPRI dibubarkan
Pembubaran KOPRI pada Kongres XIII tahun 2000 di Medan
7.
2003
Amanat pembentukan POKJA perempuan
Kongres XIV di Kutai Kertangara Kalimantan Timur mengamantakan membuat pertemuan POKJA perempuan
8.
26-29 September 2003
Pertemuan POKJA Perempuan
Gagasan dilahirkan keorganisasian wadah perempuan
9.
29 September 2003
KOPRI
Dibentuk kembali keorganisasian wadah perempuan yang bernama KOPRI
10.
2003-2014
KOPRI
KOPRI daerah masing-masing membuat sistem kaderisasi KOPRI.
11.
2014
Kongres XVII di Jambi
Lahirnya IPO (Ideologi Politik Organisasi) KOPRI
12.
2014-2016
KOPRI
KOPRI PB PMII mensistematiskan modul  tunggal kaderisasi  nasional KOPRI

4.      Sejarah Gerakan Perempuan di Salatiga
Gerakan perempuan di Salatiga sudah lahir sejak tahun 2008, dimana memang KOPRI belum terbentuk di cabang Salatiga. Pada saat ini masih bernamakan divisi keperempuanan yang ada di bawah naungan Komisariat, gerakan divisi keperempuanan PMII lebih fokus memusatkan perhatian mengenai masalah-masalah domestik perempuan dan sebatas menjahit, memasak dan mengenai masalah dapur. Namun, kesadaran yang dimiliki oleh beberapa sahabat-sahabat yang ada didalam divisi keperempuanan itu untuk berkeinginan dan mempunyai kebulatan tekad yang teguh bahwa, perempuan cukup mampu dalam menentukan kebijakan sendiri maka dalam divisi keperempuanan yang diketuai oleh sahabati Nur Asmaiyah dan keenam sahabatnya melakukan gerakan reaktualisasi dengan menamai gerakan perempuan tersebut dengan nama GGB (Gender Gue Banget), karena di cabang Salatiga pada saat itu masih belum adanya KOPRI. Pada saat itu gerakan perempuan sangat massif-progresif.
                        Tokoh Gender Gue Banget :
1.      Nur Asmaiyah                    (Ketua)
2.      Zair Naila Karimah            (Sekertaris)
3.      Nurul Faizah                      (Bendahara)
4.      Khoirina Hapsari
5.      Tasliytul Muhimmah
6.      Indah Pujiyanti
7.      Nining Hasanah
KOPRI di Salatiga berdiri pada tahun 2013, karena sejak dari tahun 2008 hingga tahun 2013 gerakan perempuan yang telah terbentuk sebagai GGB tersebut kembali lagi hanya sebatas divisi keperempuanan yang bergerak dan memfokuskan pada masalah domestik keperempuaan. Namun pada tahun 2013 didalam kepemimpinan sahabati Winda Nur Syifa gerakan perempuan KOPRI di Salatiga mulai dibangun, karena banyaknya kesadaran para kader-kader perempuan yang dirasa perlu adanya wadah sendiri bagi perempuan untuk memiliki ruang dalam beraktifitas, dan banyaknya kader perempuan yang tidak mampu bersaing di dunia PMII dan juga karena melihat pada sedikitnya kader perempuan yang mampu bertahan dalam jenjang kepengurusan cabang. Sebagian dari mereka hanya sempat mengikuti MAPABA dan mengikuti seleksi alam, saat itu kader-kader yang mempunyai kesadaran tersebut ingin membangun kepengurusan dalam wadah yang bernama KOPRI yang sudah disepakati oleh kepengurusan pusat ( Pengurus Besar ) dan membuat pembaharuan untuk mempertahankan KOPRI.

Periodesasi Kelembagaan KOPRI Kota Salatiga 2013-2018
1.      Periode 2013-2014
Ketua KOPRI              : Winda Nur Syifa
Sekretaris                     : Aulia
2.      Periode 2014-2015
Ketua KOPRI              : Endarti
Sekretaris                     : Nur Winarsih
3.      Periode 2015-2016
Ketua KOPRI              : Ridha Ayu Wintari
Sekretaris                     : Fina Indaturrohmah
4.      Periode 2016-2017
Ketua KOPRI              : Khadijat Us Sunna
Sekretaris                     : Lilik Septiani Nafiah
  Nabila Azka Amalia
5.      Periode 2017-2018
Ketua KOPRI              : Rohmatul Ummah
Sekretaris                     : Ulfah Mahmudah
                                      Ummu Atika Rahmi




[1] DPA. Wiyatmi, M.Hum. Kritik karya feminis: teori dan aplikasinya dalam sastra Indonesia. (Yogyakarta: Ombak, 2012), hal, 12.
[2] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi Geender,Islam dan Budaya, hal, 5.
[3] Feminism-feminisme hal, 14.
[4] Ideologi Gender, Feminisme dan Pembangunan 7-8
[5] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi Geender,Islam dan Budaya, hal, 38.
[6] Siti Azisah, dkk. Konstektualisasi Geender,Islam dan Budaya, hal, 39.
[7] Siti Masitoh, dkk. Makala : “Teori Sosial Kritis Feminisme” (Jakarta : Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, 2019), hal 13.

[8] Hesty Aulia Rahmi, “Feminisme di Indonesia: Sekilas Sejarah dan Dinamika” diakses dari https://nalarpolitik.com/feminisme-di-indonesia-sekilas-sejarah-dan-dinamika/ , pada tanggal 29 Agustus 2019 pada pukul 05:55.

[9]  Modul MAPABA Rayon Dakwah, hal 25.
[10] Modul MAPABA Rayon Dakwah, hal 25-26

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS DIRI

SEJARAH DAN KEORGANISASIAN PMII

Analisis Sosial