Islam Nusantara
A.
Sejarah Masuknya
Islam di Nusantara
Masuknya
islam di Indonesia terdapat berbagai pendapat dari para ahli. Sebagian ahli berpendapat bahwa
kedatangan Islam pertama-tama ke Indonesia sudah sejak abad pertama Hijriah
atau abad ke ke-7 M, dan sebagian lagi berpendapat bahwa Islam baru datang pada
abad ke-13 M, terutama di Samudra Pasai. Ada beberapa teori tentang masuknya
Islam di Indonesia. Pertama, Teori Gujarat. Teori ini dinamakan teori Gujarat
bertolak dari pandangan yang menyatakan asal Negara membawa agama Islam ke
Nusantara dari Gujarat. Adapun dasar teori ini adalah Snouck Hurgronje, dalam
bukunya L’Arabie et lesIndes Neerlandaisesatau Revue de l’histoire des
Religious.
Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke
Gujarat berdasarkan pada;
1.
Kurangnya fakta yang menjelaskan
peranan bangsa Arab dalam menyebarkan agama Islam ke Nusantara;
2. Hubungan dagang Indonesia-India telah
terjalin lama;
3. Inkripsi tertua tentang Islam
terdapat di Sumatera memberikan gambaran antara hubungan antara Sumatera dengan
Gujarat (Dalimunthe, 2016:117).
Sejalan dengan pemikiran Snouck Hurgronje, Moquette se-orang
sarjana Belanda lainnya juga berkesimpulan, bahwa tempat asal Islam di
Nusantara adalah Gujarat. Ia mendasarkan kesimpulan ini setelah mengamati
bentuk nisan di Pasai, kawasan utara Sumatera, khususnya yang bertanggal 17 Dzu
Al-Hijjah 831 H/ 27 September 1428. Batu nisan yang kelihatannya mirip dengan
batu nisan lain yang ditemukan di makam Maulana Malik Ibrahim (w. 822/1419) di
Gresik, Jawa Timur ternyata sama bentuknya denggan batu nisan yang terdapat di
Cambay, Gujarat. Berdasarkan contoh-contoh batu nisan ini ia berkesimpulan, bahwa
batu nisan di Gujarat dihasilkan bukan hanya untuk pasar lokal, tetapi juga
untuk diimpor ke kawasan lain, termasuk Sumatera dan Jawa. Selanjutnya, dengan
mengimpor batu nisan dari Gujarat, orang-orang Nusantara juga mengambil Islam
dari sana (Azra, 1995:24). Teori kedua, datang dari Arnold yang mempunyai
pandangan, para pedagang Arab juga menyebarkan Islam ketika mereka dominan
dalam perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad awal hijri atau abad ke-7 dan
ke-8 Masehi. Meskipun tidak terdapat catatan-catatan sejarah tentang kegiatan
mereka dalam penyebaran Islam, cukup pantas mengasumsikan bahwa mereka terlibat
pula dalam penyebaran Islam kepada penduduk lokal di Nusantara.
Asumsi ini menjadi lebih mungkin,
ketika mempertimbangkan fakta yang disebutkan sumber-sumber Cina, bahwa
menjelang akhir perempatan abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin
sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Sebagian orang-orang
Arab ini dilaporkan melakukan perkawinan dengan wanita lokal, sehingga
membentuk sebuah komunitas Muslim yang terdiri dari orang-orang Arab pendatang
dan penduduk lokal (Azra, 1995:25).
Islam
masuk ke nusantara sekitar abad ke-1 H/ 7 M dan abad ke-13 M. Masuk dan berkembangnya Islam di
Nusantara melalui proses waktu yang panjang. Meskipun Islam sudah diperkenalkan
ke Nusantara sejak abad Pertama Hijriah, namun hanya setelah abad ke-12 M
pengaruh Islam tampak lebih nyata, dan proses Islamisasi baru mengalami
akselerasi antara abad ke-12 dan 16 M.
B.
Pengertian Islam Nusantara
Islam
nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan nilai Islam teologis
dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat isti adat di Tanah Air.
Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya kearifan lokal di Nusantara yang
tidak melanggar ajaran Islam, namun justru menyinergikan ajaran Islam dengan
adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Kehadiran Islam
tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya, Islam datang
untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara tadriji (bertahap). Bisa jadi butuh waktu
puluhan tahun atau beberapa generasi. Pertemuan Islam dengan adat dan tradisi Nusantara
itu kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (seperti pesantren)
serta sistem kesultanan. Tradisi itulah yang kemudian disebut dengan Islam
Nusantara, yakni Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya nusantara
(Bizawie, 2016:240). Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif
dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa dan negara.
Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur dan
agama yang beragam.Islam bukan hanya cocok diterima oleh Nusantara, tetapi juga
pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni
rahmatan lil ‘alamin (Bizawie, 2016:240). Oleh karena itu, Islam nusantara ini
merupakan cara melaksanakan Islam melalui pendekatan kultural, sehingga merawat
dan mengembangkan budaya (tradisi) lokal yang sesuai dengan ajaran Islam, dan
berusaha mewarnai budaya (tradisi) lokal itu dengan nilai-nilai Islam manakala
budaya (tradisi) tersebut masih belum senafas dengan Islam. [1]
Melihat wajah di dunia saat ini,
kiranya islam nusantara sangat dibutuhkan, dengan ciri khasnya yang mengedepankan
jalan tengah karena bersifat tawasuth (moderat), tidak esktrem kanan kiri,
selalu seimbang, inklusif, saling toleransi dan hidup secara damai dengan
penganut agama lain dan dapat menerima demokrasi dengan baik. Oleh sebab itu,
sudah selayaknya bahwa islam nusantara dapat dianut di negeri manapun, untuk
menciptakan masyarakat yang harmonis.
Secara etimologis, Nusantara berasal
dari bahasa sansekerta yang terdiri dari dua kata: Nusa dan
Antara. Nusa berarti pulau, tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang di
tengah-tengah dua benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara
Benua Asia dan Australia, diapit oleh dua lautan, Hindia dan pasifik.
Karenanya, tidak salah jika Radhar Panca Dhana menyatakan bahwa orang-orang
Nusantara adalah bangsa bahari yang inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima
orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan
sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin. Jadi, sesungguhnya orang Islam
adalah orang-orang Nusantara itu sendiri.
Masyarakat
Indonesia dikatakan multikultural karena konsep ini mengedepankan budaya. Sehingga ketika
mendengar istilah Islam Nusantara, maka akan berkaitan dengan pluralitas. Dalam
Islam Nusantara, budaya merupakan bagian dari agama, di mana awal mula Islam
dapat dengan mudah diterima di Indonesia salah satunya melalui akulturasi
budaya, sehingga agama Islam terkesan merakyat dengan masyarakat Indonesia.
Akulturasi antara agama dan budaya akan terjadi terus-menerus sebagai suatu
proses yang akan memperkaya kehidupan dan membuatnya tidak gersang, kekayaan
variasi budaya akan memungkinkan adanya persambungan antara berbagai kelompok
atas dasar persamaan-persamaan, baik persamaan agama maupun budaya. Upaya
rekonsiliasi antara budaya dan agama bukan karena kekhawatiran terjadinya ketegangan
antara keduanya, sebab kalau manusia dibiarkan pada fitrah rasionalnya, kete
gangan seperti itu akan reda dengan sendirinya (Wahid, 2016:34).Bahaya dari
proses arabisasi atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur
Tengah adalah tercabutnya seorang muslim dari akar budaya sendiri. Lebih dari
itu, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Pribumisasi bukan upaya
menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan-kekuatan budaya setempat, akan
tetapi justru agar budaya ini tidak hilang. Inti pribumisasi Islam adalah
kebutuhan, bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab
polarisasi demikian memang tak terhindarkan.
Kenyataan
bahwa Islam yang datang ke Indonesia dibawa oleh para Sufi, menyebabkan Islam
pada masa awal-awal banyak berkompromi dengan budaya lokal. Pertemuan Islam
dengan budaya lokal ini sering disalah fahami sebagai penyebab kurang murninya
Islam Indonesia. Namun perlu ditegaskan bahwa tasawuf yang berkembang
diIndonesia adalah tasawuf yang berpadu dengan syariah secara seimbang. Maka
tarekat yang berkembang adalah tarekat yang sejalan dengan pandangan itu,
seperti tarekat Qadiriyah, Naqshabandiyah, dan Syattariyah. Tarekat ini
dianggap mu’tabarah karena memiliki silsilah yang sinambung hingga Nabi Muhammad
SAW dan secara isi tidak bertentangan dengan syariat. Beberapa ciri Islam
sufistik dapat dikenali dari ekspresi keagamaan Muslim yang masih lestari
sampai saat ini.
Pertama,
penghormatan pada guru, baik masih hidup maupun yang sudah meninggal. Penghormatan
ini melahirkan tradisi ziarah kubur ke makam para ulama dan wali berkembang
subur di kalangan umat Islam Indonesia. Kedua, pembacaan shalawat kepada nabi
adalah bentuk tawasul paling murni dari Islam Nusantara. Pembacaan ini telah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lahir berbagai macam sholawat, seperti
pembacaan Maulid Nabi, diba’, barzanji, shalawat munjiyat, manaqib dan
lain-lain. Ketiga, tradisi pembacaan
tahlil dan pembacaan al-Qur’an saat ada orang meninggal dunia. Keempat, para
Wali melakukan kreasi dalam berdakwah dengan menggunakan berbagai sarana
misalnya seni wayang atau pemanfaatan alat tradisional seperti beduk dan
kentongan untuk keperluan ibadah umat Islam.
Di tengah menguatnya populisme
agama yang dimanfaatkan oleh oligarki politik, kemanakah semestinya arah
penguatan keagamaan dipancangkan? Sebab yang terjadi saat kini, sebetulnya
merupakan pencerabutan besar-besaran pola keagamaan dari kontur otentik
kebudayaan kita.
Berbagai absurditas telah terjadi.
Sejak igauan kelompok yang ingin menegakkan “NKRI bersyariah”, khilafah, hingga
ujaran kebencian yang dikelola melalui mobilisasi umat, konon atas nama bela
Islam. Pertanyaannya, bagaimana mereka bisa membela Islam jika struktur dasar
keislaman sendiri masih jauh terpahami?
Untuk mencari jawaban atas berbagai
kemasgulan ini, perlulah kita menengok kebudayaan Islam yang otentik Indonesia,
yang oleh Nahdlatul Ulama (NU) disebut sebagai Islam Nusantara.
C.
Pancasila dalam Konteks Islam Nusantara
Dalam konteks syariah, Islam
memiliki tiga metode ilmiah perumusan hukum. Pertama, ushul fiqh , berisi
prinsip-prinsip filosofis perumusan hukum. Kedua, qawa’idul fiqh berupa kaidah
praktis penetapan hukum, dan ketiga, hikmatut tasyri’ yang merupakan
perluasan penafsiran atas hukum demi pengembangan pengetahuan di dalam khasanah
keilmuan Islam.
Berbagai upaya formalisasi Islam
tidak menggunakan tiga metode ini. Akibatnya upaya tersebut membentur
kenyataan, melahirkan tindak kekerasan yang dalam kualitas demokrasi prosedural
segera dimanfaatkan oleh kepentingan politik di luar gerakan Islam.
Pola transformasi kebudayaan dari
pra-Islam menuju Islam telah sesuai dengan fitrah transformasi budaya
sebagaimana mestinya. Meminjam Umar Kayam (1992), kebudayaan kita
ditransformasikan pada lapis struktur dalam tanpa perubahan berarti pada
struktur permukaan. Fungsi candi diubah, dari tempat penyimpanan abu jenazah
pada agama Hindu, menjadi tempat adzan (Menara), sebagaimana terlihat pada
arsitektur Masjid Menara Kudus.
Pola pembentukan budaya Islam
Nusantara ini ternyata menjadi basis epistemik bagi penguatan paradigma Islam
keindonesiaan, dengan wujud paripurna
tidak lain adalah Pancasila. Beriku beberapa alasannya.
Pertama, pilihan terhadap Pancasila
merupakan cerminan dari prinsip kemaslahatan yang menjadi parameter utama hukum
Islam. Prinsip ini diterapkan melalui penggunaan kaidah fikih, dar’ul
mafashid muqaddam ‘ala jalbil mashalih. Meninggalkan kerusakan akibat
pendirian Negara Islam di dalam bangsa majemuk, lebih utama daripada bersikukuh
memperjuangkan bentuk negara tersebut. Dalam kaitan ini, umat Muslim lebih
menekankan fungsi dari negara, daripada bentuk simbolik negara. Ini melahirkan
pendekatan substantif atas Islam yang melandasi alasan kedua dalam memilih
Pancasila, yakni nilai-nilai substantif.
Artinya, pilihan terhadap
Pancasila, dan bukan dasar Negara Islam sendiri, mencerminkan pemahaman
substantif atas Islam. Dalam hal ini, Pancasila dinilai sebagai cerminan
nilai-nilai substantif Islam. Apalagi dilandasi oleh nilai-nilai tauhid
(Ketuhanan Yang Maha Esa) yang memayungi kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan
keadilan sosial. Keempat sila terakhir dipahami umat Islam sebagai nilai-nilai
substantif yang menjadi tujuan utama syariah (maqashid al-syar’i). Jika sudah
demikian, tidak ada lagi alasan menolak Pancasila atas nama agama.
1. Keislaman Ilmiah
Berbagai gerakan Islam puritan yang
hadir pasca-pembentukan Islam Nusantara tak memahami hal ini, karena mereka
berangkat dari paradigma berbeda. Bagi mereka, Islam adalah agama yang harus
imun dari budaya. Faktanya keislaman mereka tidaklah anti-budaya, karena yang
dikembangkan ialah budaya Islam Arab.
Sayangnya hal ini tidak berhasil
karena Islam Nusantara itu telah terbentuk kuat selama beberapa abad. Dimulai
pada abad ke-14 M yang menghadirkan tasawuf sebagai ajaran utama Islam di
kepulauan Nusantara. Dilanjutkan oleh penguatan syariah pada gelombang
berikutnya. Menariknya, proses syariatisasi ini tidak melahirkan
despiritualisasi Islam, tetapi penguatan tasawuf oleh disiplin hukum Islam.
Terbentuklah tasawuf Sunni atau akhlaqi yang menjadi corak utama keislaman
Nusantara era Walisongo. Dalam corak ini, praktik syariah dilambari oleh
kebijaksanaan tasawuf yang selaras dengan kebajikan spiritual agama-agama
pra-Islam, termasuk spiritualitas agama asali Nusantara.
Dua gelombang pribumisasi Islam ini
kemudian disempurnakan oleh pendirian pesantren sejak awal abad ke-19, yang
menjadi institusionalisasi dari kultur Islam Nusantara tersebut. Oleh
Abdurrahman Wahid (1985), pesantren telah memparipurnakan corak keislaman
Walisongo dengan membentuk kultur fikih-sufistik. Artinya, praktik keislaman
fiqhiyah berbasis kedalaman spiritual tasawuf. Penggunaan istilah fikih menjadi
penting di sini, karena pesantren menempatkannya sebagai disiplin ilmiah atas
syariah Islam. Fiqh, artinya cara memahami syariah. Pendekatan ilmiah inilah
yang membentuk keislaman non-ideologis, karena semua ajaran agama didekati
sebagai tradisi keilmuan yang terbuka bagi penyelidikan akal budi. Dalam
tradisi keislaman yang ilmiah (rasional) inilah, umat Muslim lalu menerima
Pancasila, karena dasar negara modern menjadi keniscayaan dari prinsip-prinsip
ilmiah di dalam berpolitik.
2. Tantangan Populisme
Pertanyaannya, mengapa kultur
sebagian Muslim kini begitu dangkal sehingga melakukan penolakan terhadap
budaya keislaman negeri serta dasar negara sendiri? Jawabnya bisa karena aspek
kekotaan yang secara kultural, jauh dari zona budaya Islam Nusantara. Berbagai
sikap radikal dan populisme kanan tak disangkal terbentuk oleh apa yang Ernest
Gellner disebut sebagai Islam kota . Dalam keislaman ini, Islam dipelajari
tidak melalui tradisi keilmuan seperti di pesantren, melainkan melalui gerakan
sosial-politik. Gerakan inilah yang menebarkan pendangkalan, yang di level akar
rumput dikembangkan oleh para agitator berjubah pendakwah.
Maka lahirlah populisme Islam yang
belakangan muncul menjadi aktor utama politik Indonesia dalam balutan sentimen
SARA. Populisme ini jauh dari kultur keislaman yang terbentuk sejak era
Nusantara. Sebab keislaman Nusantara dibangun berdasarkan tradisi keilmuan yang
bijak dan ketat. Bijak karena mengaliri nilai-nilai kebajikan yang telah hidup
di masyarakat bawah (populi). Ketat karena ia dilembagakan dalam institusi
pendidikan pesantren yang mampu mengeram emosi dalam kuasa akal budi.
Simpulan
Setelah
dipahami mengenai Islam nusantara maka bisa ditelusuri bahwa Islam Nusantara
merupakan agama yang ramah dengan budaya. Orang ber-Islam secara kaffah namun
tidak meninggalkan tradisi-tradisi kebudayaannya, justru tradisi atau kebudayaannyalah
yang membuat mereka semakin kuat dan percaya dengan agama yang diyakininya.
Dalam Islam nusantara terdeskripsikan bagaimana ajaran yang secara normatif
berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia
tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
[1] Hanum
Jazimah Putri Astuti, Islam Nusantara :
Sebuah Argumentasi Beragama Dalam
Bingkai Nusantara , Interdisciplinary
Journal of Communication, Vol.2, No.1, Juni 2017: h. 27-52.
Komentar
Posting Komentar